Selasa, 10 Januari 2012

Pidana Mati sebagai Sanksi Hukum Ditinjau dari segi HAM

tugas Hukum Pidana dari Bp. Kholiq ini lumayan ribet :)

hehehe

semoga bermanfaat ya fellas :)


Penegakan hak asasi manusia semakin santer terdengar, seiring dengan kesadaran masyarakat yang semakin menjunjung tinggi akan penegakan hak asasi manusia. Dengan semakin bertambahnya kesadaran masyarakat, maka pelaksanaan hukuman mati mulai dipertanyakan eksistensinya. Pada awalnya hukuman mati dilakukan guna memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan rasa takut bagi masyarakat agar mereka tidak melakukan tindakan yang diancam dengan ancaman hukuman mati. Tetapi belakangan ini masyarakat khususnya aktifis dan pejuang hak asasi manusia merasa hukuman mati merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, terlebih lagi tujuan dari adanya hukuman mati dianggap tidak terpenuhi. Efek jera yang diharapkan dari diberlakukannya hukuman mati ternyata tidak tercapai, dengan begitu maka efektifitas hukuman mati dipertanyakan.

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang diberikan dari Tuhan kepada manusia sesuai dengan kodratnya. Hak tersebut bukanlah berasal dari manusia sehingga diantara mereka harus saling menghormati. Manusia tidak sepatutnya hanya menuntut pemenuhan hak saja tetapi juga harus diimbangi dengan pemenuhan kewajiban asasi.

Hak asasi manusia sebenarnya tidak memiliki definisi yang pasti. Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia karena kemanusiaannya. Hal ini juga didasarkan pandangan bahwa HAM sendiri memilik dua sudut pandang yaitu dari dimensi universal dan dimensi partikular.

a. Dimensi universal

Dalam dimensi universal HAM dipandang sebagai suatu hak dasar yang ada dalam setiap kehidupan manusia dimanapun ia berada. HAM dimensi universal diatur dalam UDHR (Universal Declaration of Human Rights). Secara umum bangsa-bangsa di dunia mengakui adanya HAM. Pengakuan terhadap HAM terwakili dengan adanya pengakuan terhadap UDHR.

Dalam pandangan universal, hukuman mati harus dihapuskan karena dipandang melanggar hak hidup seseorang. Nilai-nilai individual yang ada dalam konsep HAM menuntut agar hak seseorang jangan dilanggar. HAM lahir dari nilai-nilai individual yang liberal, yang biasanya hidup dalam negara barat. Hal tersebut mempengaruhi cara pandang aliran HAM ini. Kelompok negara yang berpandangan terhadap nilai universalitas memandang bahwa di manapun seseorang berada, hak-haknya harus diakui dan dilindungi. Hukuman mati yang jelas bertentangan dengan nilai HAM harus dihapuskan.

Sebagai upaya penghapusan hukuman mati negara-negara di dunia terutama negara yang telah meratifikasi The second optional protocol to the international covenant on civil and political rights, aiming at the abolition of death penalty telah menetapkan tanggal 10 Oktober sebagai hari anti hukuman mati. Melalui hari peringatan itu diharapkan negara-negara di dunia menghapuskan hukuman mati karena hukuman mati tidak sesuai dengan perkembangan HAM di dunia.

b. Dimensi partikular

Melihat dimensi particular, HAM tidak selalu kepada pemikiran universal. Penegakkan HAM dikembalikan kepada masing-masing negara. Setiap negara memiliki pandangan yang berbeda. Nilai HAM lahir dari nilai luhur suatu bangsa. Begitu pula dengan HAM tiap negara memiliki pandangan berbeda mengenai perlunya hukuman mati. Sebagai contoh dalam masyarakat Uni Eropa hukuman mati telah dihapuskan, sedangkan di Indonesia hukuman mati tetap dipertahankan.

Dalam pidato di Konferensi Internasional tentang HAM tahun 1993 di Wina wakil delegasi cina menyatakan bahwa

“Konsep hak asasi manusia adalah produk dari suatu perkembangan sejarah. Ia terikat secara erat dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang khas dan dengan sejarah, budaya dan nilai-nilai suatu negara tertentu yang khas. Perbedaan dalam tahap-tahap perkembangan sejarah memiliki persyaratan HAM yang berbeda. Negara-negara pada tingkat perkembangan yang berbeda atau dengan latar sejarah dan budaya yang berbeda juga mempunyai praktek HAM yang berbeda. Dengan demikian, orang seharusnya tidak dan tidak dapat memikirkan adanya standar HAM dan model negara-negara tertentu sebagai satu-satunya yang baik dan meminta agar negara-negara lain bertunduk padanya.”

Jika melihat dari penggalan pidato di atas terlihat bahwa tidak semua negara menganut HAM universalitas. Maka keputusan mengenai hukuman mati dikembalikan pada masing-masing negara. Hal tersebut diserahkan kepada nilai HAM yang hidup dalam suatu bangsa. Kita tidak dapat memaksakan bahwa hukuman mati ditiadakan. Tetapi di negara tertentu hukuman mati masih diperlukan. Indonesia yang berpandangan kontekstual (berpegang pada nilai bangsa) masih mengakui adanya hukuman mati.

Namun Seiring dengan kenyataan yang ada maka eksistensi hukuman mati yang ada di Indonesia dipertanyakan. Apalagi banyak negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati di negaranya, yaitu negara Australia, Austria, Denmark, Finlandia, Jerman, Hungaria, Islandia, Irelandia, Italia, Mozambik, Namibia, Belanda, Swiss dan banyak lagi negara yang telah menghapuskan hukuman mati.

Dunia menganggap hukuman mati merupakan pelanggaran HAM dan oleh karena itu pemberlakuan hukuman mati harus dihapuskan karena hak untuk hidup dari setiap manusia tidak dapat dicabut oleh hukum atau manusia yang lain. Dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) dinyatakan bahwa tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.

Jelas berdasarkan pernyataan di atas hukuman mati dapat dikategorikan telah menyiksa dan memperlakukan manusia secara tidak manusiawi. Padahal setiap manusia diciptakan oleh Tuhan dan hanya Tuhan pulalah yang berhak mencabut. Selain itu manusia diciptakan setara dihadapan Tuhan dan tidak boleh berbuat zalim terhadap sesama. Sehingga mencabut hak hidup orang lain dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain:

Berdasarkan Pasal 3 “Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”. Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmani atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok.

Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan. Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, namun ada juga pelaku pelanggaran HAM yang hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang.

Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif. Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dutuntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR.

Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yaitu Pasal 6 ayat (1) menyatakan “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”.

Pasal ini memiliki maksud bahwa pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup yang mana hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik (ICCPR) menyatakan “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius…”

Pasal ini menjelaskan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang.

Lebih lanjut Pasal 6 ayat (6) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik (ICCPR) menyatakan “tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam kovenan ini”. Hal ini dikarenakan dalam HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati.

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama: Pasal 6 ICCPR mengatur tentang hukuman mati sebagai bentuk pembatasan atas hak untuk hidup, namun ICCPR lebih menghendaki agar hukuman mati dihapuskan. Hal ini tersirat pada ketentuan Pasal 6 Ayat (2) dan Ayat (6) di atas. Kehendak untuk menghapus hukuman mati ini kemudian dimanifestasikan dalam Second Optional Protocol yang mana merupakan suatu instrument internasional yang disponsori oleh PBB yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati dalam keadaan apapun, baik dalam masa damai maupun dalam masa perang.

Kedua: Walaupun lebih menghendaki agar hukuman mati dihapuskan, ICCPR masih memberikan toleransi kepada Negara yang menjadi Pihak dalam ICCPR yang masih belum menghapuskan hukuman mati untuk tetap mempraktekkan hukuman mati, tetapi dibatasi hanya pada the most serious crimes atau beberapa kejahatan yang sangat serius.