hehe..
Alhamdulillah makalah ini disambut sangat baik sama Mr. Kholiq :)
thank you, sir :D
gue posting pembahasannya aja ya fellas :p
monggo cekidot ;)
PEMBAHASAN
Berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat sangat penting eksistensinya untuk menjawab pertanyaan, sampai di mana berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara dan kapan negara berhak melakukan penuntutan terhadap suatu perbuatan seseorang yang dikategorikan sebagai tindak pidana? Oleh karena itu, berlakunya hukum pidana yang dibatasi oleh tempat menjadi urgen diatur untuk menghindari pertentangan yuridiksi dengan negara lain dan menghindari lepasnya suatu tindak pidana dari tuntutan hukum.
Secara teoritis berlakunya hukum pidana suatu negara mengandung dua kemungkinaan. Pertama, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua tindak pidana yang terjadi di wilayah negara baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh warga negara asing. Kedua, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara di mana pun ia berada, dan di luar wilayah suatu negara.
Berlakunya perundang-undangan pidana menurut tempat secara teoritis berkaitan erat dengan asas-asas yang secara eksplisit tercantum dalam KUHP, yaitu asas teritorialitas, asas nasionalitas aktif, asas nasionalitas pasif, asas universalitas dan asas extra teritorialitas. Asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP. Didalam makalah ini hanya dalam konteks asas teritorialitas dan asas universalitas saja yang akan dijabarkan dan dibahas, yaitu sebagai berikut :
1.Asas Teritorialitas
Titik berat asas teritorialitas adalah pada tempat atau teritorial terjadinya tindak pidana. Jadi asas ini menitik beratkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah suatu negara, dengan mengesampingkan siapa saja yang melakukannya. Dengan rumusan setiap orang mengandung pengertian siapa saja, baik Warga Negara Indonesia sendiri maupun Warga Negara Asing. Dengan demikian, berdasarkan asas territorial ini maka setiap orang, baik orang Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah atau teritorial Indonesia, harus tunduk pada aturan pidana Indonesia.
Asas territorial diatur dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi: “Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Indonesia”. Jika rumusan ini dihubungkan dengan uraian di atas, maka akan diperoleh data sebagai berikut:
Pertama: undang-undang (ketentuan pidana) Indonesia berlaku di wilayah Indonesia;
Kedua: orang/pelaku berada di Indonesia;
Ketiga: suatu tindak pidana terjadi di wilayah Indonesia.
Persamaan dari tiga data tersebut ialah, semuanya ‘di wilayah Indonesia’. Jelas bahwa yang diutamakan adalah wilayah, yang berarti mengutamakan asas teritorialitas. Jadi apabila pencuri dilarang di wilayah Indonesia dan si X yang berada di Indonesia melakukan pencurian di wilayah Indonesia, maka telah terpenuhi ketentuan pasal 2 KUHP.
Wilayah suatu negara pada umumnya terdiri dari 3 macam, yaitu daratan wilayah negara, lautan wilayah negara dan udara wilayah negara. Setiap wilayah negara mempunyai perbatasan tertentu, baik terhadap negara tetangga, maupun terhadap lautan lepas. Mengenai ruang angkasa dan perbatasannya sampai sekarang belum ada ketentuannya, yang karenanya dapat disimpulkan bahwa ruang angkasa adalah milik bersama dari semua insan.
Adapun yang dimaksud wilayah atau teritorial Indonesia adalah mencakup:
1.Seluruh kepulauan maupun daratan bekas Hindia Belanda;
2.Seluruh perairan teritorial Indonesia serta perairan menurut Zona Ekonomi Eksklusif hasil Konvensi Laut Internasional, yaitu wilayah perairan Indonesia ditambah 200 meter menjorok ke depan dari batas wilayah perairan semula;
3.Seluruh bangunan fisik kapal atau perahu berbendera Indonesia sekalipun sedang berlayar di luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 KUHP.
Berlakunya asas territorial ini didasarkan pada asas kedaulatan negara suatu bangsa yang meliputi seluruh wilayah negara yang bersangkutan, sehingga setiap orang baik yang secara tetap maupun yang untuk sementara waktu berada dalam wilayah negara tersebut, harus mentaati dan menundukkan diri pada segala perundang-undangan (pidana) yang berlaku di negara itu.
Asas teritorialitas berhubungan dengan masalah locus delicti dari tindak pidana. Locus delicti adalah suatu tempat yang secara hukum dianggap sebagai tempat kejadian perkara. Tujuannya adalah untuk menentukan aturan hukum pidana negara mana yang harus digunakan sebagaai dasar untuk menangani perkara tersebut atau pengadilan mana yang memiliki kompetensi untuk menyidangkan perkara tersebut.
Penentuan locus delicti dari tindak pidana tentu saja bergantung pada teori mana yang akan digunakan ketika muncul persoalan tentang penentuan hal itu. Dalam doktrin hukum pidana terdapat tiga teori yang lazim digunakan untuk menentukan locus delicti suatu tindak pidana, yaitu teori perbuatan materiil, teori penggunaan alat, dan teori akibat.
Teori perbuatan materiil mengandung suatu pengertian bahwa tempat yang harus dianggap sebagai locus delicti adalah tempat di mana pelaku tindak pidana benar-benar melakukan dan menyelesaikan segala sesuatunya, sehingga perbuatannya menjadi sempurna karena telah memenuhi semua unsur-unsur delik.
Teori penggunaan alat menyatakan bahwa tempat yang harus dianggap sebagai locus delicti adalah tempat di mana pelaku tindak pidana benar-benar telah menggunakan alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana itu. Jadi konsekuensi hukum dari pandangan teori tersebut adalah sama dengan teori perbuatan materiil. Apabila teori perbuatan materiil menekankan pada tempat di mana pelaku secara nyata telah dikerjakan dan diselesaikan, teori penggunaan alat lebih menekankan kepada tempat di mana alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana itu. Sedangkan teori akibat berpandangan bahwa tempat yang harus dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat dari suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.
Contoh kasus: Samuel Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa adalah dua Warga Negara Asing berkebangsaan Nigeria yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia karena terbukti telah melakukan penyelundupan heroin di Indonesia. Samuel Iwuchukwu Okoye terbukti melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin yang disembunyikan di dalam tasnya saat masuk ke Indonesia pada tanggal 9 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Tangerang memvonis hukuman mati pada 5 Juli 2001. Vonis itu diperkuat oleh putusan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Sedangkan Hansen Anthony Nwaolisa terbukti menyelundupkan 3,2 kg heroin pada tanggal 29 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang kemudian memvonis mati pada 13 Agustus 2001 dan Vonis itu diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pada akhirnya dua terpidana mati tersebut telah dieksekusi mati.
Kenapa Indonesia berhak mengadili kedua Warga Negara Asing tersebut?
Berdasarkan asas teritorialitas yang terdapat didalam KUHP Pasal 2, yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan, berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, baik itu Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia.
Hukum Pidana Indonesia dapatlah diterapkan bagi pelaku tindak pidana narkoba yang dilakukan kedua Warga Negara Nigeria tersebut. Hal tersebut dibenarkan karena penerapan asas territorialitas di Indonesia. Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye telah melakukan tindak pidana dengan locus delicti -nya ialah wilayah Indonesia. Sesuai dengan asas territorialitas, maka bagi siapa saja baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia baginya.
2.Asas Universalitas
Pada awalnya tidak dirasakan akan adanya keperluan untuk mengadili seorang pelaku (penjahat) yang bukan warganegara dan bukan penduduk dari suatu negara, melainkan ia berada di negara itu, jika kejahatan tersebut tidak merugikan kepentingan perseorangan atau hukum dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan teknologi yang membuat jarak-jarak semakin dekat, saling ketergantungan antara suatu negara dengan negara lain, maka beberapa kepentingan tertentu sangat dirasakan oleh pemerintah negara-negara sebagai kepentingan bersama yang harus ditanggulangi secara bersama pula. Untuk melindungi beberapa kepentingan tertentu tersebut, seakan-akan tidak ada lagi batas territorial, personal atau kepentingan sendiri, yang mana pemerintah negara-negara mengadakan perjanjian-perjanjian. Diperjanjikanlah untuk dapat menghukum suatu kejahatan tertentu, walaupun kejahatan itu relative tidak merugikan negara yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya tidak ditujukan kepada negara atau warga dari negara yang bersangkutan, serta kejahatan tersebut tidak telah terjadi di negara tersebut.
Persoalan pokok yang dikaji dalam asas universal adalah jenis perbuatan (pidana) yang sedemikian rupa sifatnya sehingga setiap negara berkewajiban untuk menerapkan hukum pidana, tanpa memandang siapa yang berbuat delik, dimana dan terhadap kepentingan siapa pelaku delik melakukannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal di atas dimensi internasioanal dalam asas universalitas akan tampak dalam dua hal. Pertama, dalam ketentuan Pasal 4 sub 2 KUHP kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas tersebut tidak secara eksplisit disebut mata uang yang dikeluarkan oleh negara atau bank tertentu, dalam arti tidak merujuk pada suatu negara, Indonesia misalnya.
Dengan demikian, setiap orang yang melakukan kejahatan mata uang di luar territorial Indonesia dapat diadili berdasarkan aturan pidana Indonesia apabila tertangkap oleh aparat penegak hukum Indonesia. Contoh: Orang (baik warga negara maupun orang asing) memalsukan uang kertas negara asing di luar wilayah Indonesia, jika orang itu tertangkap disini dan bukti-buktinya lengkap, maka dapat dipidana di sini menurut KUHP kita (Pasal 2244 KUHP).
Kedua, kejahatan-kejahatan yang diatur dalam ketentuan Pasal 4 sub 4 KUHP pada hakikatnya merupakan kejahatan yang telah dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional, dimana setiap orang, termasuk Indonesia, memiliki kewenangan untuk mengadili. Kejahatan-kejahatan yang diatur didalam ketentuan Pasal tersebut merupakan kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional, akan tetapi kewenangan melakukan penangkapan, penahanan dan peradilan atas pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada yuridiksi criminal negara yang berkepentingan dalam batas-batas territorial negara tersebut. Kejahatan yang diatur dalam Pasal 4 sub 4 KUHP secara umum terbagi ke dalam dua jenis kejahatan, yaitu pembajakan laut dan pembajakan udara, keduanya dikategorikan sebagai kejahatan internasional yang mana tidak mempersoalkan locus delicti dan kewarganegaraan penjahat. Dengan demikian, apabila ada seseorang baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing melakukan pembajakan laut, maka terhadap orang itu dapat diadili berdasarkan aturan pidana Indonesia. Contoh: Orang membajak suatu kapal asing di luar territorial Indonesia jika tertangkap oleh alat-alat pemerintah kita, bisa diadili di sini menurut KUHP kita (Pasal 438 dan lain-lain. jo Pasal 4 sub 4)
Jika dikaji secara cermat, seseungguhanya asas universalitas ini merupakan perluasan dari asas nasionalitas pasif, yang mana asas nasionalitas pasif mengandung prinsip, bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik dilakukan oleh warga negara Indonesia atau yang tidak dilakukan di luar Indonesia. Sebab tujuan penggunaannya tidak sekedar hanya melindungi kepentingan nasional Indonesia semata, tetapi lebih bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat internasional. Tentu saja saat terwujud perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan interasioanal, maka secara implisit juga telah terwujud perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sebab suatu kepentingan nasional hakikatnya adalah bagian dari tata kepentingan dunia global yang lebih luas.
THANK YOU for read it.
semoga bermanfaat :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar