tugas Hukum Pidana Islam (jinayat) dari Pak Agus :)
saya posting pembahasannya saja ya..
semoga bermanfaat :)
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tujuan Hukuman dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Tujuan pokok hukuman dalam syariat Islam adalah pencegahan, pengajaran dan pendidikan. Arti pencegahan ialah menahan orang yang melakukan jarimah itu supaya tidak mengulangi perbuatannya, dan mencegah orang lain supaya tidak ikut-ikut berbuat jarimah. Jadi kegunaan pencegahan ini rangkap, yaitu mentaubatkan yang telah berbuat dan menakuti orang yang mau ikut perbuatan tersebut.
Disamping bertujuan untuk memperbaiki pribadi para bekas pelaku jarimah, syarat Islam juga bertujuan untuk membentuk masyarakat yang baik. Dengan berubahnya sikap para bekas pelaku jarimah menjadi orang yang baik-baik ketentraman masyarakat tidak terganggu lagi, dan akhirnya akan tumbuhlah kesadaran umum masyarakat. Mereka bersedia melakukan perbuatan-perbuatan wajib karena kesadarannya dan mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan terlarang karena kesadarannya pula. Bahkan mereka akan berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk mencapai derajat keutamaan. Dan inilah yang menjadi akhir dari diadakannya hukuman dalam syariat Islam.
Tujuan hukuman dalam hukum positif, dalam sejarah pertumbuhannya, tujuan hukuman dalam hukum positif melalui beberapa fase, fase-fase itu ialah:
- Fase balasan perorangan
Pada frase balasan perorangan, urusan hukuman berada ditangan si korban atau walinya. Mereka bertindak berdasarkan perasaan menjaga diri dari penyerangan dan dasar naluri ingin membalas kepada penyerang, oleh karena itu pembalasan ini tidak ada batasnya, bahkan kadang-kadang menimbulkan perang antara golongan atau suku.
- Fase balasan Tuhan
Pada fase balasan Tuhan, maksudnya si berbuat harus menebus kesalahannya dengan menerima balasan umum, agar si pelaku merasa jera dan orang lain tidak akan menirunya. Hukuman yang berupa balasan umum ini seringkali menimbulkan tindakan-tindakan yang melampaui batas, apalagi kalau yang berhak mengadili mempunyai kekuasaan yang tak terbatas, baik dalam penentuan macamnya jarimah maupun dalam menentukan hukumnya.
- Fase kemanusiaan
Pada fase kemanusiaan, prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang yang berupa memberi pendidikan dan memperbaiki si pelaku mulai tampak. Pada fase ini muncullah teori kontrak sosial yang mengatakan bahwa: Perorangan lepas dari kekuasaan negara, kecuali sebagian dari kemerdekaannya yang diberikan kepada masyarakat, yaitu ketika dia bergaul dengan masyarakat, dan pemberian ini demi untuk menjaga keselamatannya.
- Fase keilmuan
Pada fase keilmuan, munculla aliran yang mendasarkan atas tiga fikiran.
Pertama: hukuman mempunyai tugas dan tujuan ilmiyah, yaitu melindungi masyarakat dari pebuatan jarimah dengan cara mencegah si pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan orang lain tidak mengikutinya. Yang pertama disebut pencegahan khusus dan yang kedua disebut pencegahan umum.
Kedua: Para pelaku jarimah serupa, masa, bentuk dan besarnya hukuman tidak perlu harus sama tanpa melihat keadaan diri se pelaku masing-masing melainkan hukuman itu harus berdasarkan pengamatan ilmiyah, pengalaman praktis dan kenyataan yang terjadi, yaitu: dimana jarimah itu terjadi, factor apa yang mendorongnya, dan bagaimanan keadaan diri si pelaku.
Ketiga: kegiatan masyarakat dalam menanggulangi jarimah harus ditujukan kepada dua sasaran, yaitu: sipelaku jarimah dan sebab atau factor yang menimbulkan jarimah.
- Fase gabungan
Pada fase gabungan, maksudnya gabungan antara teori keadilan dan kebebasan perorangan dengan teori pembelaan masyarakat dari kejahatan. Menurut teori ini hukuman itu mempunyai dua tugas, yaitu:
Pertama: mewujudkan prinsip keadilan, dengan arti besarnya hukuman tidak boleh melebihi besar dan bahayanya jarimah itu sendiri.
Kedua: membela masyarakat, dengan arti motif apa sehingga si pelaku melakukan jarimah, dan bahaya apa yang diakibatkan oleh jarimah itu.
Jadi dasar menjatuhkan hukuman pada waktu sekarang ini ialah rasa keadilan dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar suatu hukuman sesuai dengan besarnya kesalahan, tanpa melihat bahaya yang diakibatkan. Melindungi masyarakat menghendaki agar besarnya hukuman disesuaikan dengan motif si pelaku dan besarnya bahaya akibat dari kesalahannya, tanpa melihat besarnya kesalahan itu sendiri. Dasar ini memberikan dua manfaat:
Pertama: manfaat moral yang diwujudkan dengan pemuasan perasaan orang banyak, kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat.
Kedua: manfaat sosial yang diwujudkan dengan usaha mencegah kembalinya si pelaku pada jarimah, dengan cara mengancam, memperbaiki dan menjauhkan dari jarimah. Disamping itu juga mencegah orang lain untuk memasuki lingkungan jarimah.
B. Pengertian Zina
Zina adalah memasukan dzakar atau (penis) ke dalam farji yang diharamkan yang menurut akal tidak ada keserupaan atau kekeliruan dalam memasukannya. Dari definisi di atas suatu perbuatan dapat dikatakan zina apabila memenuhi 2 unsur, yaitu:
1. Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.
2. Tidak hanya adanya keserupaan itu atau kekeliruan.
Dari unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda jenis kelaminnya hanya baru bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan belum dapat dikatakan zina yang dapat dijatuhi hukuman had.
Larangan Berbuat Zina
Zina dinyatakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang harus diberi hukuman setimpal, karena mengingat akibat yang ditimbulkan sangat buruk. Hubungan bebas dan segala bentuk diluar ketentuan agama adalah perbuatan yang membahayakan dan mengancam keutuhan masyarakat dan merupakan perbuatan yang sangat nista. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan merupakan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’:32).
Jadi bisa dikatakan bahwa zina merupakan perbuatan yang menimbulkan kerusakan besar dilihat secara ilmiah. Zina adalah salah satu diantara sebab-sebab dominan yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban, menularkan penyakit yang sangat berbahaya, misalnya AIDS, dan lain-lain. Mendorong orang untuk terus menerus hidup membujang serta praktek hidup bersama tanpa nikah.
Dengan demikian, zina merupakan sebab utama dari pada kemelaratan, pemborosan, pencabulan, dan pelacuran. Maka dari itu Islam menetapkan hukuman yang keras/berat terhadap pelaku zina. Dengan kata lain, Islam menetapkan hukuman berdasarkan dan setelah menimbang bahwa menghukum pelaku zina dengan hukuman yang lebih berat itu lebih adil ketimbang membiarkan rusaknya masyarakat disebabkan merajalelanya perzinaan. Hukuman yang dijatuhkan atas diri pezina memang mencelakakan dirinya, tetapi memberi hukuman itu mengandung arti memelihara jiwa, mempertahankan kehormatan dan melindungi keutuhan keluarga.
Hukuman zina tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi juga berimbas kepada masyarakat sekitarnya, karena murka Allah akan turun kepada kaum atau masyarakat yang membiarkan perzinaan hingga mereka semua binasa, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Jika zina dan riba telah merebak di suatu kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.” (HR. Al-Hakim).
Di dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda:
“Ummatku senantiasa ada dalam kebaikan selama tidak terdapat anak zina, namun jika terdapat anak zina, maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka.” (H.R Ahmad).
Syarat-Syarat Hukuman Zina
Hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang berzina dapat dilaksanakan dengan syaarat-syarat sebagai berikut:
1. Orang yang berzina itu berakal/waras.
2. Orang yang berzina sudah cukup umur (baligh).
3. Zina dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, tetapi atas kemauannya sendiri.
4. Orang yang berzina tahu bahwa zina itu diharamkan.
Jadi hukuman tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap anak kecil, orang gila dan orang yang dipaksa untuk melakukan zina.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw
“Tidaklah dicatat dari tiga hal: orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga dia baligh, dan dari orang gila hingga dia waras.”
Hukuman Zina
Dalam kitabnya Abdul Qodir Audah dijelaskan: Jadi ketika perempuan atau laki-laki berbuat zina maka dihukum dengan hukuman, yang pertama yaitu jilid, dan kedua adalah pengasingan.
Pertama, yaitu hukuman jilid, ketika gadis/perawan berzina maka dihukum jilid 100 kali jilidan berdasarkan surat an-Nur ayat 2.
Hukuman jilid adalah dihad, yaitu hukuman yang ditetapkan, dan tidak boleh bagi hakim (qodli) mengurangi atau menambahnya karena beberapa sebab.
Kedua, yaitu pengasingan, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad adalah pengasingan dari daerah yang dijadikan untuk zina ke daerah lain. Sedangkan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah tahgrib adalah menahan.
Sumber Had Bagi Pelaku Zina
Zina merupakan perbuatan yang mengharuskan bagi pelakunya di had, dalam hal ini bersumber dari al-Qur’an. Hal ini dapat dikatakan bahwa, wewenang al-Qur’an dapat dinyatakan sebagai prinsip modern alternatif. Pada prinsipnya tidak ada otoritas Qur’an untuk menghapus hukuman, tetapi yang dapat dilakukan adalah “membatasi” aplikasinya dalam praktik.
Tetapi ada problem lain yang berkenaan dengan sunnah sebagai sumber hukum, bahwa hukum pelemparan batu sampai mati bagi pelaku zina yang terikat pada perkawinan hanya didasarkan pada sunnah. Al-Qur’an menentukan 100 had cambukan untuk zina tanpa mengaitkan status perkawinan pelakunya. Penggunaan sunnah atau mendukung hukuman dari penggunanya yang paling berat dalam kasus ini mungkin dibedakan dari penggunaannya sebagai sumber hudud. Misalnya, karena zina merupakan had berdasarkan al-Qur’an. Dan menurut logika syari’ah sebagai hukuman keagamaan. Sekali al-Qur’an dan sunnah berkata jelas dan pasti maka orang yang beriman tidak memiliki pilihan lain kecuali patuh.
Pencarian pembenaran rasional mungkin membantu orang beriman memahami kebebasan dan alasan atauran-aturan tersebut. Dengan kata lain, keberadaan hudud sebagai bagian dari hukum pidana suatu negara islam adalah tidak terlepas dari keberadaan atau kuatnya pembenaran sosiologis dan penologis
C. Membandingkan Hukuman Had zina dalam KUHP
Disini kita membandingkan antara hukum di Indonesia dengan hukum pidana islam mengenai kasus zina ini, maka kita akan banyak melihat perbedaan pandangan:
1. Menurut KUHP tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284 ayat 1 dan 2 menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal seorang atau keduanya telah kawin, dan dalam padal 27 KUH Perdata (BW) berlaku baginya. Ini bisa diartikan bahwa pria dan wanita yang melakukan zina tersebut belum kawin, maka mereka tidak terkena sanksi hukuman tersebut di atas. Tidak kena hukuman juga bagi keduanya asalkan telah dewasa dan suka sama suka (tidak ada unsur paksaan) atau wanitanya belum dewasa dapat dikenakan sanksi, hal ini diatur dalam KUHP pasal 285 dan 287 ayat 1. Sedangkan menurut hukum pidana islam, semua pelaku zina pria dan wanita dapat dikenakan had, yaitu hukuman dera bagi yang belum kawin, misalnya (dipukul dengan tongkat, sepatu, dan tangan). Dan dera ini tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera.
2. Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan suami/istri yang tercemar (pasal 284 ayat 2), sedangkan Islam tidak memandang zina sebagai klach delict (hanya bisa dituntut) atas pengaduan yang bersangkutan.
3. Hukum positif KUHP dalam menyikapi masalah perzinahan, ada berbagai variasi hukuman (klasifikasi). Dengan penerapan hukuman yang berbeda-beda yang tertuang dalam KUHP pasal 284 ayat 1dan 2, pasal 285, 286 dan 287 ayat 1. Sedangkan Islam menetapkan hukuman dera jika pelaku zina yang belum kawin dan hukuman rajam jika telah kawin.
D. Zina dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif
Hukum Islam dan hukum positif berbeda pandanganya dalam masalah zina. Hukum Islam memandang setiap hubungan kelamin diluar nikah dan perbudakan sebagai zina dan mengancamnya dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak. Sebaliknya hukum positif tidak memandang setiap hubungan kelamin diluar nikah sebagai zina. Pada umumnya, yang dianggap sebagai zina menurut hukum positif itu hanyalah hubungan kelamin diluar perkawinan, yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam status bersuami atau beristeri saja. Selain itu tidak dianggap sebagai zina, kecuali terjadi perkosaan atau pelanggaran kehormatan.
Dalam pasal 284 kitab undang-undang hukum pidana indonesia disebutkan:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan:
Ke-1 a. seorang pria telah nikah yang melakukan zina, padahal diketahui, bahwa 27 BW berlaku baginya.
b. seorang wanita telah nikah yang melakukan zina
Alasan larangan zina dalam hukum Islam dan hukum positif
Hukum Islam melarang zina dan mengancamnya dengan hukuman karena zina merusak sistem kemasyarakatan dan mengancam keselamatanya. Zina merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan, sedangkan keluarga merupakan dasar untuk berdirinya masyarakat. Membolehkan zina berarti membolehkan kekejian, dan hal ini dapat meruntuhkan masyarakat. Sedangkan Islam menghendaki langgengnya masyarakat yang kokoh dan kuat.
Hukum positif menganggap perbuatan zina sebagai urusan pribadi yang hanya menyinggung hubungan individu dan tidak menyinggung hubungan masyarakat. Oleh karenanya dalam hukum positif, apabila zina itu dilakukan dengan sukarela, maka pelaku tidak perlu dikenakan hukuman, karena dianggap tidak ada pihak yang dirugikan, kecuali apabila salah satu atau keduanya dalam keadaan sudah kawin. Dalam hal ini perbuatan tersebut baru dianggap sebagai tindak pidana dan pelakunya dikenai hukuman, karena hal itu melanggar kehormatan perkawinan.
Kenyataan memperkuat syariat Islam
Apa yang terjadi di eropa dan negara-negara barat pada umumnya memperkuat pandangan syariat Islam. Kondisi masyarakat di eropa dan negara-negara barat sudah rusak dan persatuanya sudah mulai mengendur. Penyebabnya adalah menjalarnya kekejian (zina) dan dekadensi moral serta kebebasan yang tanpa batas. Hal ini karena dibolehkanya perzinaan dan dibiarkanya setiap individu menurutkan syahwat dan nafsunya. Disamping itu mereka juga menganggap bahwa zina adalah persoalan pribadi yang tidak menyinggung kepentingan masyarakat.
Apa yang dihadapi oleh negara-negara bukan Islam berupa krisis masyarakat dan krisis politik, penyebabnya adalah karena dibolehkanya zina. Di beberapa negara, keturunan (populasi manusia) sudah menyusut sedemikian rupa, yang apabila dibiarkan, lama kelamaan akan mengakibatkan kepunahan negara tersebut atau terhenti pertumbuhanya. Berkurangnya populasi keturunan ini penyebabnya karena keengganan kebanyakan orang untuk melakukan perkawinan.
Keengganan terhadap perkawinan ini sebabnya adalah karena laki-laki merasa telah memperolah apa yang diinginkanya dari seorang wanita tanpa melakukan perkawinan. Di samping itu juga karena mereka tidak yakin akan kesetiaan isterinya setelah kawin, berhubung dengan kebiasaanya sebelum kawin, mereka sudah sering melakukan hubungan dengan pria lain. Sebaliknya, seorang wanita yang menurut fitrahnya bertugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak yang lahir dari perkawinanya, banyak yang enggan melakukan perkawinan, dan ia tidak mau diikat oleh seorang laki-laki. Sebabnaya adalah ia merasa yakin dengan mudah dapat memperoleh apa yang diinginkanya dari berpuluh-puluh laki-laki tanpa harus diikat dan dibelenggu dengan tali perkawinan dan tanpa banyak menanggung risiko.
Kenyataan – kenyataan ini jelas memperkuat pandangan syariat Islam, bahwa zina bukan urusan pribadi yang menyinggung hubungan individu semata-mata, melainkan juga mempunyai dampak negatif bagi masyarakat. Oleh karena itu, sungguh tepatlah apabila syariat Islam melarang semua bentu perbuatan zina.
Bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan zina
Zina itu banyak bahayanya, baik terhadap akhlak dan agama, jasmani atau badan, disamping itu terhadap masyarakat dan keluarga. Bahaya terhadap akhlak dan agama sudah cukup jelas. Seorang yang melakukan perbuatan zina, pada waktu itu ia merasa gembira dan senang, sementara di pihak lain perbuatanya itu menimbulkan kemarahan Allah. Perbuatan zina mengarah pada lepasnya keimanan dari hati pelakunya, sehingga andaikata ia mati dalam keadaan melakukan zina maka ia mati dalam keadaan tidak membawa iman.
Rasulullah bersabda;
“tidak berzina seorang pezina kalau pada waktu berzina itu ia dalam keadaan beriman.”
Di samping itu, wanita yang berzina itu kehilangan kehormatanya, rasa malunya,
kehormatanya, dan di mata masyarakat ia sudah jatuh, padahal kenikmatan yang diperolehnya hanya beberapa menit. Selain itu perbuatan itu juga menjatuhkan nama baik keluarganya.
Dampak negatif dari perbuatan zina terhadap kesehatan jasmani adalah timbulnya penyakit kelamin, yaitu suatu penyakit yang diawali dengan tumbuhnya gelembung-gelembung bernanah yang menyerang kulit atau alat kelamin penderita. Penyakit ini merupakan penyakit yang berbahaya dan menular. Penularan bukan hanya dengan melakukan hubungan seksual, melainkan juga dengan bersentuhan melalui kulit, sapu tangan, dan sebagainya. Akibat yang lebih berbahaya lagi dari penyakit ini dapat mengakibatkan cacat pada anak yang lahir.
Panyakit lain yang ditimbulkan dari perbuatan zina ini adalah penyakit AIDS, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu virus HIV yang mengakibatkan hilangnya kekebalan tubuh. Penyakit ini belum ditemukan obatnya. Akibatnya, orang yang terserang penyakitb ini akan mengalami penurunan kekebalan, lama kelamaan ia akan meninggal dunia.
Adapun bahaya zina terhadap keluarga dan masyarakat adalah bahwa perbuatan zina merusak sendi-sendi kehidupan rumah tangga dan keluarga. Apabila dalam suatu keluarga terjadi perbuatan zina, baik oleh pihak suami maupun oleh pihak istri maka kerukunan dalam rumah tangga bisa hilang. Di sisi lain perbuatan zina dapat menimbulkan keengganan untuk melakukan pernikahan, sebab apa yang diinginkan oleh laki-laki dan wanita Dapat diperoleh dengan mudah tanpa banyak risiko. Apabila pandangan seperti ini merata pada masyarakat maka pada giliranya masyarakat menjadi punah karena tidak adanya keturunan.