Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan
masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa
sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan
pekerja atau buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang
kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai
banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan
tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan
dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan
sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja,
dan pembinaan hubungan industrial.
Salah satu syarat untuk keberhasilan pembangunan nasional adalah kualitas
manusia Indonesia yang menentukan berhasil tidaknya usaha untuk memenuhi tahap
tinggal landas. Peningkatan kualitas manusia tidak mungkin tercapai tanpa
memberikan jaminan hidup, sebaliknya jaminan hidup tidak dapat tercapat apabila
manusia tidak mempunyai pekerjaan, dimana dari hasil pekerjaan itu dapat
diperoleh imbalan jasa untuk membiayai dirinya dan keluarganya.
Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi,
memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai perdamaian dan keadilan
setiap orang. Hukum seyogyanya memberikan keadilan, karena keadilan itulah
tujuan dari hukum.
Perluasan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja harus merupakan
kebijaksanaan pokok yang sifatnya menyeluruh di semua sektor. Dalam hubungan
ini program-program pembangunan sektoral maupun regional perlu senantiasa
mengusahakan terciptanya perluasan kesempatan kerja sebanyak mungkin dengan
imbalan jasa yang sepadan. Dengan jalan demikian maka disamping peningkatan
produksi sekaligus dapat dicapai pemerataan hasil pembangunan, karena adanya
perluasan partisipasi masyarakat secara aktif di dalam pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat ditandai dengan tumbuhnya
industri-industri baru yang menimbulkan banyak peluang bagi angkatan kerja pria
maupun wanita. Sebagian besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat
organisasi yang rendah yang tidak membutuhkan keterampilan yang khusus lebih
banyak memberi peluang bagi tenaga kerja wanita. Tuntutan ekonomi yang mendesak
dan berkurangnya peluang serta penghasilan di bidang pertanian yang tidak
memberikan suatu hasil yang tepat dan rutuin, dan adanya kesempatan untuk
bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik yang kuat bagi tenaga
kerja wanita. Tidak hanya pada tenaga kerja wanita yang sudah dewasa yang sudah
dapat digolongkan pada angkatan kerja. Tetapi sering juga wanita yang belum
dewasa yang selayaknya masih harus belajar di bangku sekolah.
Bagi tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda
dengan yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum
dari kondisi objektif tidak ada perbedaan-perbedaan. Perhatian yang benar bagi
pemerintah dan masyarakat terhadap tenaga kerja terlihat pada beberapa
peraturan-peraturan yang memberikan kelonggaran-kelonggaran maupun
larangan-larangan yang menyangkut kedirian seseorang wanita secara umum seperti
cuti hamil, kerja pada malam hari dan sebagainya.
Selain itu, masalah gangguan seksual (sexual harressment) seringkali
dialami oleh perempuan di tempat kerja, baik oleh teman sekerja maupun oleh
majikan. Gangguan ini bisa berbentuk komentar-komentar atau ucapan-ucapan
verbal, tindakan atau kontak fisik yang mempunyai konotasi seksual. Walaupun
seringkali oleh orang yang menjadi sasaran tindakan tersebut, suatu gangguan
tampaknya tidak membahayakan secara langsung, namun dengan adanya tindakan itu
yang mempunyai unsur kekuasaan dan dominsi, si orang tersebut selalu menjadi
sadar akan keperempuannya dan keperawanannya terhadap gangguan-gangguan
tersebut. Bentuk yang paling ekstrem dari gangguan seksual itu adalah perkosaan
yang seringkali pula bentuknya sangat terselubung, dalam artian bahwa sering
dianggap peristiwa tersebut sebagai peristiwa individual semata dan tidak
menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.
Masalah tenaga kerja saat ini terus berkembang semakin kompleks sehingga
memerlukan penanganan yang lebih serius. Pada masa perkembangan tersebut
pergeseran nilai dan tata kehidupan akan banyak terjadi. Pergeseran dimaksud
tidak jarang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menghadapi
pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku industri dan perdagangan,
pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil langkah-langkah
antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang terjadi.
Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan harus
terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara
efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan. Dengan demikian pengawasan
ketenagakerjaan sebagai suatu sistem mengemban misi dan fungsi agar peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dapat ditegakkan. Penerapan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan/keserasian hubungan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha dan
pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan ketenagakerjaan dalam rangka
meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan kerja dapat terjamin.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun
majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur
di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101
meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja,
keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan. Dengan
demikian,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur hak
dan kewajiban bagi para tenaga kerja maupun para pengusaha di dalam
melaksanakan suatu mekanisme proses produksi.
Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang
bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin
kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari
disusunnya undang-undang ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para
pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia.
Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3
(tiga ) macam, yaitu:
- Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
- Perlindungan sosial, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
- Perlindungan teknis, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.
Berdasarkan objek perlindungan tenaga kerja Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perlindungan khusus
pekerja/buruh perempuan dan anak sebagai berikut :
- PERLINDUNGAN PEKERJA PEREMPUAN
Di dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja
perempuan yang bekerja yaitu Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.8
Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8.
Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan
Pekerja Peremuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban
Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai
dengan Pukul 07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan
perlindungan kepada perempuan. Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan
mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal
5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003.
1.
Perlindungan
Pekerja Perempuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa,”Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan
Pekerja Wanita adalah Tenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu
berdasarkan perjanjian kerja dengan menerima upah.
Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan
pekerja laki-laki, seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja,
jam perlindungan dan lain-lain.
2. Pedoman Hukum Bagi Pekerja Wanita
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84, Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003
serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang
meliputi:
a. Perlindungan Jam Kerja
Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita
(pukul 23.00 sampai pukul 07.00). Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada
pengecualiannya yaitu pengusaha yang mempekerjakan wanita pada jam tersebut
wajib:
i.
Memberikan
makanan dan minuman bergizi
ii.
Menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
iii.
Menyediakan
antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara
pukul 23.00 – 05.00.
Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan
yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang
berdasarkan keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
apabila bekerja antara pukul 23.00 – 07.00.
Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak
memberikan makanan dan minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal
ketentuannya tidak boleh diganti dengan uang.
b. Perlindungan dalam masa haid
Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan diatur masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan
terhadap pekerja wanita yang dalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari
pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh. Dalam pelaksanaanya lebih
banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak mendapatkan premi
hadir.
c. Perlindungan Selama Cuti Hamil
Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil
bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah
melahirkan dengan upah penuh. Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada
perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh.
d. Pemberian Lokasi Menyusui
Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur masalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan
pada pekerja wanita yang anaknya masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya
efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan.
3. Peranan Penting Dinas tenaga Kerja
Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap pekerja wanit yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP &
PKB Perusahaan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di
bidang ketenagakerjaan dan melakukan pengawasan ke Perusahaan.
4. Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja
Wanita
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara
pekerja dengan pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak
adanya sanksi dari peraturan perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi,
faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi.
Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus
menjabarkannya dan mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke
dalam rumusan undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan
para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, perempuan sendiri
masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi dan bahwa hal
tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat
prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara
universal.
CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk
tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan
bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan
gender yang:
a.
Secara
sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;
b.
Mencegah
masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik di
dalam maupun di luar negeri; atau
c.
Mencegah
kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang
dimilikinya.
Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai
dengan fungsi reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW
huruf f bahwa hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk
usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi.
Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama,
usia, alamat dan nama majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam
paspor. Tenaga kerja yang tidak berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian
kerja. Hal ini juga sering terjadi pada pekerja perempuan yang bekerja di luar
negeri. Maka untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat (3) mengatur yaitu
negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang
mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum para
wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.
5. Perlindungan Pekerja Perempuan
Berdasarkan Konvensi ILO
Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam
tambang di bawah tanah. Isi Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa
memandang umurnya tidak boleh melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah.
Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.
Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi
Laki-Laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan,
“Pengupahan meliputi upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan
pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang harus dibayar secara langsung
atau tidak, maupun secara tunai atau dengan barang oleh pengusaha dengan buruh
berhubung dengan pekerjaan buruh”.
Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan
kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan
upah tidak boleh diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk
pekerjaan yang sama nilainya.
- PERLINDUNGAN PEKERJA ANAK
Masalah pekerja anak atau tenaga kerja anak diatur di dalam
ps.1 Undang-undang No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan), yang sekaligus menetapkan batas usia anak yang diperbolehkan
bekerja adalah 15 tahun, baik untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan.
Tetapi menanggapi pertanyaan apakah peraturan tersebut sudah memadai dan
sejauhmana pelaksanaannya adalah jauh dari mudah, karena sampai saat ini
masalah pekerja anak masih menjadi kontroversi dalam isu tentang perlindungan
anak pada umumnya. Bisa dikatakan, masalah pekerja anak merupakan
masalah klasik dalam hal perlindungan anak.
Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Keppres No.36 Tahun 1990,
maka ada baiknya kita merujuk pada KHA untuk semua masalah seputar anak yang
kita temui. Di dalam pasal 32 dari KHA,
dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi dari segala bentuk
eksploitasi ekonomi dan dari setiap bentuk pekerjaan yang berbahaya dan
mengganggu pendidikannya, membahayakan kesehatannya atau mengganggu
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Oleh karena itu
negara berkewajiban untuk menentukan batas usia minimum pekerja anak, mengatur
jam dan kondisi penempatan kerja, serta menetapkan sanksi dan menjatuhi hukuman
kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan tersebut.
Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Negara telah menunaikan core obligation-nya melalui UU
Ketenagakerjaan tersebut. Negara telah menetapkan batas usia minimum pekerja
anak, telah mengatur bahwa anak harus dihindarkan dari kondisi pekerjaan yang
berbahaya, dsb. Tetapi persoalan implementasi merupakan masalah yang sangat
berbeda.
Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak,
yaitu penghapusan (abolition),
perlindungan (protection), dan
pemberdayaan (empowerment).
Pendekatan abolisi mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh
bekerja dalam kondisi apapun, karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk
bersekolah dan bermain, serta mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Sementara pendekatan proteksi mendasarkan pemikirannya pada jaminan terhadap
hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai warga negara setiap anak
punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan sebenarnya merupakan
lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan terhadap
pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya.
Pada dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara
terus-menerus mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala
bentuk pekerja anak.
Kondisi-kondisi yang sangat merugikan seperti diupah dengan
murah, rentan terhadap eksploitasi, rentan terhadap kecelakaan kerja, rentan
terhadap PHK yang semena-mena, serta berpotensi untuk kehilangan akses dan
kesempatan mengembangkan diri, menimbulkan kewajiban baru bagi negara untuk
memberikan perlindungan kepada anak yang terpaksa bekerja, dan bahwa kepada
anak yang bekerja harus diberikan perlindungan melalui peraturan
ketenagakerjaan agar mereka mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana
orang dewasa dan agar mereka terhindar dari segala bentuk eksploitasi dan
penyalahgunaan.
Jadi sementara negara belum bisa sepenuhnya menghapus
pekerja anak, setidaknya negara dapat menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja
anak, sebagai anak dan sebagai pekerja, serta memberikan perlindungan bagi
anak-anak yang terpaksa bekerja, melalui cara memfasilitasi mereka dengan
pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Tetapi seperti halnya berbagai peraturan lainnya, kendala
utamanya adalah dalam hal pelaksanaan. Dan sejauh mana Negara telah memberikan
perlindungan terhadap pekerja anak, masih perlu kita kaji lebih lanjut.
Adapun pasal-pasal yang menyebutkan tentang perlindungan
pekerja anak yang termuat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, sebagai
berikut:
a. Pengusaha dilarang mempekerjakan
anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas)
tahun (Pasal 1 nomor 26).
b. Ketentuan tersebut dapat
dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai 15 tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari
kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1)).
c. Pengusaha yang memperkerjakan anak
pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
-
Ijin
tertulis dari orang tua/wali.
-
Perjanjian
kerja antara orang tua dan pengusaha
-
Waktu
kerja maksimal 3 (tiga) jam
-
Dilakukan
pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
-
Keselamatan
dan kesehatan kerja
-
Adanya
hubungan kerja yang jelas
-
Menerima
upah sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Dalam hal anak dipekerjakan
bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari
tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).
e. Anak dianggap bekerja bilamana
berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya (Pasal 73).
f. Siapapun dilarang mempekerjakan anak
pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam Pasal 74 ayat (1). Yang dimaksud
pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu :
-
Segala
pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.
-
Segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi
dan perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
-
Segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.
-
Segala
pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
C.
ANALISA
1.
Perlindungan pekerja perempuan
Perlindungan
tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di luar negeri masih lemah. Kondisi
demikian tidak sebanding dengan antusiasme menjadi TKW. Berharap dapat
memperbaiki ekonomi keluarga serta berharap mendapatkan upah yang besar, banyak
remaja dan ibu rumah tangga memilih bekerja sebagai pembantu rumah tangga di
negeri orang.
Untuk
hal tersebut, maka kita perlu memberikan perlindungan tenaga kerja wanita.
Resiko besar menghadang, baik berupa siksaan, pemerkosaan sampai kehilangan
nyawa. Bahkan tidak jarang mereka bekerja bertahun-tahun tanpa upah dan pulang
tanpa nyawa bahkan menderita cacat seumur hidup.
Korban
tenaga kerja wanita yang disiksa, dibunuh oleh majikan hampir selalu ada dan
disiarkan berulang di berbagai media. Pemerintah hampir selalu ikut turun
tangan dan angkat bicara. Namun ironisnya kejadian tersebut terulang dan TKW
terlanjur menjadi korbannya.
Kekerasan,
pelecehan dan perampasan hak TKW ternyata masih belum mampu menjadikan
Pemerintah memberikan perlindungan tenaga kerja wanita rasa aman dan nyaman
dalam bekerja. Pemerintah hanya mampu menjadi mediator sesaat dalam hal
perlindungan tenaga kerja wanita saat mereka bermasalah perindividu perkasus.
Bukti ketidak seriusan pemerintah dalam memberi perlindungan tenaga kerja
wanita adalah terjadinya kekerasan berulang pada TKW yang ada di luar negeri.
Pemerintah harus serius menangani
masalah ini agar tidak berulang terjadi dan seakan tidak mampu mengurai benang
kusut masalah yang dihadapi TKW. Pemerintah melalui Menlu dan Dubes serta
Depnaker, Menkumham, hendaknya mau duduk bersama merumuskan upaya payung hukum
perlindungan tenaga kerja wanita yang akurat sebelum menandatangani kerja sama
dengan Negara lain untuk pengiriman TKW.
Selain
itu memperbaiki system dan penyiapan SDM yang akan menjadi TKW dirasa sangat
perlu. Selama ini para TKW yang berangkat sebagian besar adalah dari mereka
yang memiliki pendidikan dan ketrampilan yang pas-pasan. Sehingga tujuan
bekerja adalah hanya memasuki sektor non formal menjadi pembantu rumah tangga.
Kemungkinan akan menjadi lain jika para TKW yang ke luar negeri adalah mereka
yang memiliki pendidikan dan keahlian khusus. Upaya ini membantu mereka mampu
bersaing dan dapat bekerja dalam sektor formal yang memiliki payung hukum dan
perlakuan jelas dan bekerja secara profesional.
Kemudian
membuat program pemberdayaan perempuan agar mereka dapat memiliki kompeten yang
dapat membantu meningatkan perekonomian keluarga. Jika para wanita yang
antusias menjadi TKW ini ada kegiatan yang mampu membantu akan lebih memilih
berwirausaha dan bekerja di dalam negeri karena dekat dengan keluarga dan jauh
dari resiko penyiksaan.
2.
Perlindungan pekerja anak
Tingginya
jumlah pekerja anak di Indonesia masih menjadi salah satu problem serius yang
harus ditangani secara komprehensif. Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei
Nasional Pekerja Anak oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Labour
Organization (ILO) tahun 2009, ada sekitar 4 juta anak Indonesia aktif secara
ekonomi. Sekitar 1,8 juta dari mereka masuk dalam kategori pekerja anak.
Sementara itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak juga mencatat 11 juta anak
usia 7-8 tahun tidak terdaftar sekolah di 33 provinsi di Indonesia.
Tingginya
jumlah pekerja anak ini membuat ILO menjadikan Indonesia sebagai negara yang
menjadi target utama dalam Program Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak atau International Programme on The Elimination of Child Labour
(IPEC). Terhitung sejak 1992 hingga sekarang, pemerintah Indonesia bersama
sejumlah pihak terkait baik di tingkat pusat maupun daerah terus mengupayakan
mengurangi jumlah pekerja anak secara signifikan terutama pada sejumlah jenis
pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan berbahaya bagi anak. Sejumlah
pekerjaan berbahaya itu antara lain pelacuran, pertambangan, penyelam mutiara,
sektor konstruksi, jermal, pemulung sampah, pekerjaan dengan proses produksi
menggunakan bahan peledak, bekerja di jalan dan pembantu rumah tangga.
Komitmen
Pemerintah Indonesia termasuk negara yang memiliki komitmen besar untuk
menanggulangi masalah pekerja anak. Salah satunya ditandai dengan keikutsertaan
Indonesia dalam program IPEC ILO sejak dua dekade lalu. Indonesia juga turut
meratifikasi Konvensi ILO tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
(No. 182) dan Konvensi ILO mengenai usia minimum memasuki dunia kerja (No.
138). Dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia mempertegas komitmennya
untuk mengambil tindakan dengan segera dan efektif untuk melarang dan
menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Sebagai
tindak lanjut dari ratifikasi tersebut, Pemerintah juga mengembangkan Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang disahkan
melalui Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002. Rencana Aksi ini
mengidentifikasikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan menargetkan
Indonesia akan bebas pekerja anak pada tahun 2016. Untuk mengakselerasi tujuan
ini, pemerintah menjalin kemitraan yang strategis mulai dari pemerintah daerah,
pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat hingga berbagai organisasi
internasional. Beberapa pemerintah daerah bahkan dengan tegas memproklamirkan
daerahnya sebagai Zona Bebas Tenaga Kerja Anak (ZBTA).
Sejumlah
upaya di atas mulai menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Berdasarkan
data ILO, telah terjadi penurunan jumlah pekerja anak yang cukup signifikan di
Indonesia. Jika pada tahun 1996 terdapat sekitar 2,5 juta pekerja anak, jumlah
ini terus mengalami penurunan sekitar 3,4 persen setiap tahunnya hingga menjadi
1,5 juta orang pada 2010.
Peningkatan
partisipasi di sekolah juga dinilai telah berhasil membantu mengurangi jumlah
pekerja anak secara signifikan. Meski demikian, upaya untuk mewujudkan
Indonesia bebas pekerja anak pada tahun 2016 nanti masih sangat panjang.
Tingginya angka kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, persepsi keluarga
tentang pendidikan serta dinamika permintaan akan tenaga kerja dinilai masih
akan menjadi hambatan penghapusan pekerja anak secara total.
Menuntaskan
akar masalah meski bukan satu-satunya faktor, tingginya angka kemiskinan
seringkali dianggap sebagai salah satu faktor pendorong utama tingginya jumlah
pekerja anak di Indonesia. Di mana, salah satu dampak kemiskinan yang utama
adalah diabaikannya hak-hak anak, yang dengan segera memunculkan pekerja anak.
Karena
itu, selain melakukan penarikan dan pencegahan anak secara langsung dari dunia
kerja, pendekatan ekonomi kini turut menjadi salah satu strategi utama dalam
menanggulangi masalah pekerja anak. Salah satu yang menjadi prioritas adalah
program pengentasan kemiskinan para orang tua. Karena kemiskinan orang tua bisa
menjadi sumber utama munculnya pekerja anak. Kemiskinan yang terus berlanjut
juga bisa membuat siklus pekerja anak terus mengalami regenerasi.
Dalam
kasus pekerja anak, banyak di antara buruh anak yang ditemukan sekarang
merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga buruh anak. Mereka tidak punya
banyak pilihan selain terus menjadi buruh dan ini bisa berlangsung hingga
generasi berikutnya. Kemiskinan juga membuat banyak orang tua dan anak tidak
memiliki pemahaman dan akses yang cukup pada pendidikan. Kondisi ini terkadang
masih diperparah oleh budaya sebagian masyarakat yang menganggap bekerja lebih
menguntungkan daripada menuntut ilmu di sekolah.
Untuk
memutus lingkaran setan ini, sejumlah upaya pemberdayaan ekonomi keluarga
miskin terus digalakkan. Salah satunya melalui kredit mikro atau microfinance.
Lembaga ini sering dipandang sebagai salah satu obat yang mujarab untuk
mengentaskan kemiskinan. Ia tidak hanya memberi akses modal bagi masyarakat
miskin yang tidak tersentuh akses permodalan dari lembaga keuangan namun juga
sekaligus bisa berfungsi sebagai sarana pemberdayaan bagi masyarakat miskin. Meski
demikian, kredit mikro bukan merupakan satu-satunya penyelesaian, sehingga
harus disinergiskan dengan program lain yang relevan.