Selasa, 18 Januari 2011

Hak Asasi Manusia dalam Kebebasan Berpendapat di Media Online

guna memenuhi tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan

A.Latar Belakang

Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi di era reformasi ini daripada sebelum era reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain.
Dalam era globalisasi sekarang ini, peradaban manusia sudah mencapai kemajuan yang begitu pesat. Teknologi dan bidang-bidang lainnya juga pesat berkembang. Tanpa kita sadari kemajuan di berbagai bidang tersebut memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi manusia baik secara positif maupun secara negative
Kebebasan berpendapat merupakan hak dasar setiap manusia. Kebebasan ini merupakan wujud penyampaian ekspresi baik secara lisan maupun tulisan melalui media apa saja tanpa kekangan dari pihak manapun. Seiring perkembangan teknologi, kebebasan berpendapat melalui media tidak hanya mencakup media cetak dan media penyiaran saja, tapi juga melalui media online.

B.Masalah

Di tengah pesatnya teknologi dan semakin terbukanya ruang bicara ini, kita masih harus terganjal hukum yang tidak cukup terakomodatif dalam memberikan ruang bagi terselenggaranya kebebasan berpendapat ini. Maka dari itu, bagaimana kebebasan berpendapat melalui media online di Indonesia saat ini?

C.Tujuan

Untuk mengetahui apa dan bagaimana kebebasan berpendapat dalam media online di Indonesia.


PEMBAHASAN

Manusia terlahir kedunia oleh Tuhan dikaruniai sesuatu yang orang lain tidak dapat mengusiknya, yaitu yang lebih kita kenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Salah satu dari hak tersebut adalah kemerdekaan, dimana manusia diberi kebebasan untuk mempertahankan hidupnya dengan berbagai cara dan upaya, tentunya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya dengan terjadinya interaksi antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam berinteraksi tentunya akan muncul gagasan atau pikiran yang akan disampaikan kepada orang lain. Penyampaian atau pengungkapan inilah yang yang dimaksud dengan penyampaian pendapat.
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu karunia Tuhan yang sangat berharga. Sepatutnya kita pahami bersama bahwa setiap orang mempunyai kepentingan untuk dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Sebab adanya batasan atau tekanan orang akan merasa khawatir atau takut untuk menyampaikan pendapatnya, dan hal ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 19 UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat atau mengeluarkan pendapat; hal itu meliputi kebebasan mempertahankan pendapat dengan tanpa gangguan, serta mencari, menerima, dan meneruskan segala informasi dan gagasan, melalui media apapun dan tanpa memandang batas”.
Apabila kebebasan berpendapat dikekang, maka akan timbul gejolak-gejolak ataupun ganjalan-ganjalan dalam hati banyak orang, yang suatu ketika dapat meledak dalam bentuk sikap-sikap dan perbuatan yang tidak baik. Meskipun kita memiliki hak kebebasan dalam mengeluarkan pikiran ataupun pendapat, namun kebebasan itu bukan kebebasan mutlak yang tanpa batas. Kebebasan yang kita jalani adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita tidak boleh memaksakan kehendak dan pendapat kita.
Pembatasan terhadap hak dan kebebasan menyampaikan pendapat khususnya di media berbasis IT memang menjadi satu ganjalan, bahwa seakan-akan masyarakat tidak dibenarkan menyampaikan kritikan dan sumbang saran yang nyata-nyata akan memojokkan pihak tertentu, padahal jika kita mengkaji lebih jauh bahwa peran masyarakat sebagai social controle sangat penting sebagai sebuah indikator berhasil atau tidaknya pembangunan dan kualitas pembangunan yang dilakukan pemerintah, jadi kita berharap sekiranya ini tidak menjadi penghalang bagi setiap warga untuk dapat menyatakan pendapat dan buah pemikiran mereka, tetaplah pada koridor yang benar bahwa tujuan kita menyampaikan informasi yang sebenarnya untuk kepentingan bersama.
Kasus Prita Mulyasari, boleh dikatakan merupakan isu mengenai kebebasan berpendapat yang paling menghentak tahun 2009 lalu. Awalnya, ibu muda ini hanya bermaksud mengutarakan keluh kesahnya melalui email kepada teman-temannya. Siapa yang menduga, curahan hatinya ini justru menggiringnya ke jeruji besi. OMNI International Hospital sebagai pihak yang dikritik oleh Prita merasa tidak terima dengan keluhan Prita. Pencemaran nama baik pun, menjadi alasan ampuh yang digunakan Rumah Sakit OMNI untuk merumahkan Prita ke sel tahanan. Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi salah satu senjata yang digunakan OMNI selain Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP terkait pencemaran nama baik. Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE disebutkan bahwa, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Setelah Prita, giliran artis Luna Maya yang menjadi ‘tumbal’ UU ITE. Umpatan yang dilakukannya melalui Twitter secara spontan, mengundang amarah kalangan infotainment. Dalam kasus ini lagi-lagi pasal 27 ayat (3) digunakan sebagai tali penjerat. Ancaman hukum sebagai akibat dari pasal ini adalah pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak satu miliar rupiah. Bisa dikatakan, jerat hukum ITE yang menimbulkan ketakutan berbagai pihak untuk berbicara melalui internet ini menjadi ganjalan penegakkan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Alpanya Aturan Negara
Pengekangan kebebasan berpendapat di Indonesia ini, bukan kali pertama terjadi dalam sejarah bangsa kita. Dari rezim ke rezim, Indonesia mengalami jalan cukup panjang dan terjal mengenai penegakkan kebebasan berpendapat ini. Meskipun secara jelas aturan mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tercantum dalam piagam PBB, pada kenyataannya untuk menegakkannya dalam sebuah negara tidaklah mudah. Rezim yang berkuasa berikut aktor dan sistem yang juga berkuasa menjadi faktor penentu bagaimana kebebasan tersebut ditegakkan. Pasalnya, merekalah yang menjadi penentu kebijakan atas kebebasan berpendapat ini.
Sejarah pemerintahan Indonesia menjadi gambaran yang cukup kongkrit betapa kebebasan berpendapat di Indonesia dari rezim ke rezim menjadi perjuangan yang belum sepenuhnya menyuarakan semangat demokrasi. Masa orde lama dan orde baru, karena pada masa itu keberadaan media hanya terbatas pada media cetak dan media penyiaran, maka pemerintah memberikan kekangan yang cukup ketat untuk dua media ini.
Kini, saat media semakin berkembang luas dan internet hadir sebagai ajang untuk menyampaikan pendapat juga, pemerintah lagi-lagi berusaha ikut campur untuk mengaturnya. Di satu sisi, pemerintah berdalih bahwa mereka harus melindungi kepentingan publik yang cukup heterogen dari terpaan negatif media. Namun di sisi lain pemerintah juga mengekang kebebasan berpendapat yang dimiliki publik. Internet, telah menjadi salah satu media alternatif bagi publik untuk mengutarakan pendapatnya secara bebas. Hal ini dikarenakan media-media mainstreem seperti media cetak dan media penyiaran yang seharusnya menjadi ‘mulut dan telinga’ publik telah dikuasai oleh pihak-pihak yang berdekatan dan beroposisi dengan pemerintah. Tak jarang mereka telah ditunggangi kepentingan politik tertentu yang tidak berpihak kepada publik.
Kebebasan berpendapat sendiri di Indonesia memang memiliki aturan yang terbatas. Selama ini koridor mengenai kebebasan berpendapat hanya diatur melalui Undang-undang Pers No.40 tahun 1999 saja yang notabene lebih banyak mengatur mengenai pers cetak. UU ini belum akomodatif untuk media penyiaran dan media massa lainnya. Maka dari itu bisa dikatakan, media online belum mempunyai aturan mengenai kebebasan pers. Tak heran, aturan-aturan mengenai media online dicomot secara parsial melalui UU yang berkaitan dengan media online. Padahal belum tentu aturan dalam UU tersebut mewakili semangat demokrasi dan kebebasan berpendapat yang digaungkan sebagai hak asasi manusia.
Merujuk pada aturan yang lebih universal. Secara luas, dunia memberikan pengakuan atas kebebasan untuk mencari, mengumpulkan, dan untuk menyebarluaskan informasi sebagaimana yang disuarakan dalam piagam PBB ini mengandung arti bahwa setiap orang bisa mengutarakan pendapat dan ekspresinya dalam bentuk apapun dan melalui media apapun. Sebagai pembatas agar kebebasan ini tidak kebablasan, secara lebih lanjut piagam PBB mengemukakannya dalam Pasal 29 yang menyatakan :
(1) Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of this personality possible
(2) In the exercise of the rights and freedom, everyone shall be subject to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order, and the walfare in democratic society
Dari sini dapat dilihat bahwa yang akan menjadi batasan atas kebebasan berpendapat ini adalah undang-undang setempat, jiwa, masyarakat, ketertiban sosial dan politik masyarakat demokratis. Undang-undang, ketertiban sosial, dan politik sebagaimana tertulis dalam piagam PBB ini memang menjadi pembatas yang dalam pengelolaan kebebasan berpendapat. Namun demikian, bukan berarti undang-undang yang menjadi dasar hukum dalam suatu negara akan menjadi pengekang. Undang-undang akan menjadi koridor pembatas saja agar kebebasan pendapat yang diperjuangkan tidak kebablasan.
Beda Media Beda Batasan
Melihat dari berbagai pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan merupakan hak semua orang. Setiap individu yang hidup dalam suatu negara hukum, mempunyai kebebasan yang sama dalam berpendapat. Hanya saja ketika diterapkan dalam setiap media, kebebasan berpendapat ini akan mempunyai implikasi yang berbeda, tergantung sifat medianya. Namun, bukan berarti hal ini akan menjadi alasan untuk mengekang kebebasan berpendapat dalam masyarakat.
Secara lebih lanjut, untuk menjelaskan bahwa perbedaan mempunyai implikasi dalam sifat media, yang menyandingkan pers cetak dan pers penyiaran. Secara prinsip jurnalistik pers cetak dan penyiaran memiliki prinsip-prinsip yang sama. Namun dalam konteks hukum pers cetak berbeda dengan pers penyiaran. Dalam pers cetak tidak boleh ada ketentuan yang bersifat prior restraint atau hambatan sebelum dilakukannya penerbitan. Sedangkan dalam media penyiaran, ketentuan prior restraint terdapat dalam peraturan bahwa mendirikan radio atau TV harus memiliki izin dari yang berwenang. Lembaga izin inilah yang bersifat prior restraint. Secara prinsip, hal ini bertentangan dengan kebebasan pers yang tidak menghendaki adanya campur tangan dalam penyampian pendapat. Namun, penggunaan frekuensi yang merupakan milik publik dan harus berizin merupakan ketentuan yang secara jelas terdapat dalam undang-undang penyiaran. Inilah yang menjadi titik lemah dari aturan mengenai kebebasan pers di Indonesia ketika menyandingkan dua jenis media massa ini. Lalu, bagaimana dengan media online yang memiliki sifat yang berbeda sekaligus sama dengan media cetak dan media penyiaran.
Ketika aturan prior restraint diberlakukan dalam media online, akan terjadi semacam kerancuan. Pertama, karena dalam media online tidak ditemukan aturan pembatasan frekuensi. Kedua, dalam media online terdapat prinsip-prinsip media cetak yang diadaptasi dalam media online. Jadi, terdapat dualitas antara media cetak dan media penyiaran yang berbaur. Lalu, bagaimana kebebasan pers berwujud dalam media online?
Selama ini, media online atau yang lebih dikenal sebagai internet tidak dimasukkan dalam kategori komunikasi massa. Dalam kajian komunikasi Internet lebih sering dimasukkan pada kategori new media. Hal ini karena internet mempunyai sifat dari semua media massa yang ada dan mengacu pada konsepnya yang interaktif. Media baru yang dibentuk oleh komputer adalah media dalam pengertian yang sangat luas, yaitu bukan media massa, seperti surat kabar, radio, televisi, dan film. Pengertian ini secara implisit menyebutkan bahwa media tersebut terbentuk karena komputer dan wujudnya berbeda dengan media massa.
Dengan pengertian ini memberikan batasan kebebasan berpendapat pada internet tidak bisa dilakukan sebagaimana melakukan pembatasan dalam media massa lainnya. Dalam piagam PBB dikatakan bahwa kebebasan berpendapat hanya dapat dibatasi oleh undang-undang setempat, jiwa (morality) masyarakat, ketertiban sosial (public order) masyarakat yang demokratis. Tiga hal inilah yang berdasarkan piagam PBB menjadi batasan yang cukup akomodatif dalam mengelola kebebasan berpendapat dalam sebuah negara.
Untuk memberikan batasan kepada pers dalam piagam PBB adalah melalui jiwa masyarakat (morality). Hal ini jelas membutuhkan kemampuan tiap-tiap individu untuk mengelola kemampuan pribadinya ketika berhadapan dengan media. Dalam hal ini kemampuan komunikasi intrapersonal tiap-tiap individu yang menjadi tumpuannya. Kasus-kasus penculikan pacar oleh pacar yang terjadi melalui facebook beberapa saat lalu bisa dikatakan merupakan bukti lemahnya kemampuan manajemen morality dari individu untuk membatasi dirinya ketika berhadapan dengan media berikut terpaannya.
Cara lain yang digariskan dalam piagam PBB adalah melalui public order. Kasus terakhir yang terekspose media mengenai hal ini adalah dikeluarkannya empat orang siswa SMA di wilayah Tanjung Pinang akibat memposting status di facebook yang oleh sekolah dinilai tidak menyenangkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa masyarakat ikut menjadi penentu dan pembatas penyampaian pendapat di muka umum. Norma yang berlaku dalam masyarakat akan menjadi pagar pembatas bagi mereka yang kebablasan ketika berpendapat di internet.
Dalam tataran Indonesia, negara kita memilih menggunakan undang-undang untuk membatasi kebebasan pendapat yang terjadi di dunia maya. Undang-undang ITE yang menjadi punggawa utamanya. Meskipun sudah ‘memakan’ sejumlah korban, pemerintah masih urung untuk menilik atau mencabut kembali undang-undang ini. Meski norma dan manajemen pribadi menjadi dua hal yang tidak diabaikan pula di negara kita, namun sepak terjang dari UU ITE-lah yang paling nampak. Dalam penerapannya, undang-undang ini dinilai sangat membatasi kebebasan pers karena hanya menghasilkan pasal-pasal karet yang berakibat bui. Prita salah satu contoh paling nyata. Bisa dikatakan, untuk media online penerapan undang-undang bukanlah solusi paling ampuh untuk Indonesia.
Perkembangan terbaru yang terjadi dalam kebebasan pers pada media online adalah dikeluarkannya Peraturan Menkominfo pada bulan Februari 2010 ini yang mengatur mengenai pengamanan pemanfaatan jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet. Aturan ini dikeluarkan oleh Menkominfo sehubungan dengan makin meningkatnya penyalahgunaan internet untuk hal-hal yang tidak diinginkan dan mempunyai implikasi negatif. Sampai hari ini aturan ini masih menuai banyak pro dan kontra. Di satu sisi Menkominfo memncoba memberikan pagar bagi pengguna media online yang sudah kebablasan agar berjalan pada koridornya. Di sisi lain, terdapat sejumlah aturan dalam Permen ini yang dikhawatirkan hanya akan menghadirkan pasal karet-pasal karet yang baru.

PENUTUP


Kesimpulan

Perjalanan kebebasan pers di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan internet sebagai new media, bisa dikatakan masih jauh dari semangat demokratisasi sebagaimana yang dijunjung dalam piagam PBB. Secara hukum Indonesia memang sudah memiliki UU ITE yang menjadi dasar hukum. Faktanya, aturan hukum yang berlaku di Indonesia justru menjadi jerat mematikan, bukan batasan yang bijak bagi mereka yang mengeluarkan pendapat dalam media online. Yang jelas, koridor hukum ini harus segera diperbaiki di Indonesia agar tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hukum yang pada awalnya dimaksudkan oleh pemerintah untuk melindungi masyarakatnya.
Pertama, hakikat kebebasan pers dalam media online menjadi persoalan utama yang harus segera dipecahkan. Sifat internet yang mewadahi media interpersonal maupun media massa menjadikan internet mempunyai sifat yang sangat berbeda. Akibatnya, hukum atas internet pun seharusnya berbeda. Inilah yang harus dipahami oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan dan masyarakat sebagai pengguna media.
Kedua, kebebasan berpendapat merupakan hak semua masyarakat, namun ketika berpendapat melalui internet mempunyai implikasi hukum yang berat akan menimbulkan ketakutan berpendapat dalam masyarakat. Bisa jadi hal ini justru menciptakan pemberontak-pemberontak yang akan menambah kericuhan dunia maya. Inilah persoalan kedua yang harus diatur oleh pemerintah, membuat masyarakat media dan berkesadaran media sehingga masyarakat akan bisa menggunakan media secara lebih bijaksana.

3 komentar:

Indoreview mengatakan...

Terimakasih admin artikelnya, semoga bermanfaat untuk tugas kuliah saya
.
Hy sy sastra heriawan 1722500022 mhs https://www.atmaluhur.ac.id
.
Terimakasih

Unknown mengatakan...

Terimakasih atas info ny
Saya dovana aditia 1722500027 mhs
Https://www.atmaluhur.ac.id

Unknown mengatakan...

Hallo saya Bayu Destanto (1622500142) dari Stmik Atma Luhur Pangkalpinang . Menurut saya dengan adanya hak asasi manusia dalam bebas mengungkapkan pendapat mereka setidaknya bisa memberikan mereka ruang untuk mengungkapkan secuil dari aspirasi mereka . Jangan lupa kunjungi website kampus saya dengan klik link dibawah ini
Https://www.atmaluhur.ac.id